Setelah lebih dari 25 tahun bekerja di bidang facility management, saya pikir saya cukup familiar dengan istilah, sistem, dan dinamika pekerjaan di dalamnya. Namun, sejak 2020, ada satu istilah yang terus muncul dalam setiap diskusi, webinar, dan bahkan percakapan santai antar team: workplace management.
Dulu istilah ini tidak terlalu ramai. Tapi pasca pandemi
COVID-19, seolah ada pergeseran besar: bukan hanya soal menjaga fasilitas tetap
berfungsi, tapi juga bagaimana fasilitas itu mendukung cara kerja baru—yang
fleksibel, digital, dan berbasis pengalaman karyawan.
Banyak Organisasi Masih Fokus pada Gedung, Bukan Penggunanya
Saat ini, banyak perusahaan di Indonesia—terutama sektor
perbankan, manufaktur, dan instansi publik—masih menganggap facility management
(FM) cukup untuk menjalankan operasional kantor. Padahal di era kerja hybrid,
pengalaman kerja (employee experience) sudah menjadi faktor utama dalam
retensi, produktivitas, bahkan kesehatan mental karyawan.
Akibatnya:
- Ruang kantor tetap rapi, tapi karyawan merasa tidak terhubung.
- Infrastruktur berjalan baik, tapi ruang meeting jarang dipakai.
- AC dingin, tapi suara bising membuat fokus terganggu.
Belum Ada Pemahaman Jelas tentang Perbedaan FM dan WM
Banyak perusahaan belum membedakan antara FM dan Workplace
Management (WPM) karena keduanya sering ditangani oleh tim yang sama. Padahal,
fokus, pendekatan, dan stakeholder-nya berbeda:
Aspek |
Facility Management |
Workplace Management |
Fokus |
Infrastruktur fisik (gedung, AC,
listrik) |
Pengalaman kerja karyawan |
Tujuan |
Efisiensi & kepatuhan |
Produktivitas & kepuasan |
Pendekatan |
Reaktif, operasional |
Proaktif, strategis |
Stakeholder |
Vendor, teknisi, manajemen properti |
HR, IT, karyawan |
Teknologi |
CMMS, sensor gedung |
Apps booking ruang, occupancy sensor |
Integrasi Peran FM dan WPM dalam Strategi Workplace Modern
Dengan adanya perbedaan tersebut, FM dan WPM dapat saling
melengkapi. Berikut 4 strategi yang bisa dilakukan perusahaan atau praktisi FM:
1. Tingkatkan Kolaborasi Antarfungsi. FM harus bekerja erat dengan HR, IT, dan bahkan user langsung. Seorang FM perlu mengenal kebutuhan dari team HR, IT dan user dengan salah satu cara melakukan survey terhadap user langsung dan evaluasi terhadap fasilitas yang ada.
2. Kembangkan Skill Baru untuk Team FM. Team FM perlu meningkatkan pemahaman tentang terkait hubungan dengan user langsung, seperti; design thinking, employee journey, dan data analytics. FM tidak hanya bicara genset dan AC, tapi juga tentang how people feel at work.
3. Gunakan Teknologi Terintegrasi. Gabungkan CMMS (untuk infrastruktur) dengan aplikasi workspace experience (untuk pengguna). Menurut saya, ini adalah teknology yang akan sangat membantu jika diterapkan di perkantoran. Misal; suhu ruang otomatis menyesuaikan berdasarkan jadwal meeting dan jumlah orang.
4. Reformasi KPI:
- FM: Maintenance plan, efisiensi energi, downtime.
- WPM: employee satisfaction, tingkat pemanfaatan ruang, adopsi digital tools.
Penggabungan indicator tersebut dalam satu dashboard
workplace performance akan menjadikan strategi untuk team FM lebih berkembang.
Sebagai praktisi FM, saya dulu fokus pada satu pertanyaan:
“Apakah gedung ini berfungsi?” Tapi sekarang, saya belajar menanyakan hal yang
lebih penting: “Apakah orang-orang di dalamnya bisa bekerja dengan optimal dan
bahagia?”
Transformasi ini menantang, tapi juga membuka peluang besar
untuk menjadikan FM lebih strategis, relevan, dan berdampak langsung ke bisnis.
Saatnya Bertransformasi
- Apakah perusahaan atau organisasi anda masih memisahkan FM dan WPM sebagai silo?
- Sudahkah pengalaman kerja masuk dalam diskusi strategi fasilitas?
- Sebagai team FM, “Apa satu hal yang bisa saya ubah hari ini agar workspace lebih mendukung karyawan?”
Di masa depan, gedung yang hebat bukan hanya yang tidak bocor dan dingin. Tapi gedung yang membuat orang betah, fokus, dan merasa terhubung.
Dan di sinilah FM dan WPM harus berjalan bersama.
Semoga bermanfaat!