Minggu, 14 Desember 2025

Transformasi Facility Management: Dari Aktivitas ke Hasil yang Terukur

Selama bertahun-tahun, sebagian besar kontrak Facility Management (FM) di Indonesia masih berorientasi pada input-based model, di mana fokus utama ada pada jumlah tenaga kerja, jam kerja, dan aktivitas harian.

Misalnya, keberhasilan layanan sering diukur dari berapa banyak teknisi yang ditempatkan, seberapa cepat mereka hadir, atau seberapa sering jadwal pembersihan dilakukan.

 

Namun, pendekatan ini menimbulkan sejumlah tantangan:

·       Tidak selalu mencerminkan hasil nyata terhadap kepuasan pengguna atau efisiensi operasional.

·       Menyulitkan pengukuran value for money karena biaya meningkat tanpa jaminan peningkatan kualitas.

·       Membatasi inovasi, karena vendor cenderung “menjalankan rutinitas” ketimbang mencari cara baru untuk meningkatkan kinerja fasilitas.

 

Tren global menunjukkan pergeseran menuju Outcome-Based Contracting (OBC) model di mana keberhasilan tidak lagi diukur dari jumlah orang, tetapi dari hasil kerja yang terukur.

Dalam model ini, klien dan penyedia layanan menyepakati indikator kinerja utama (KPI) yang berfokus pada hasil, seperti:

1.       Tingkat kepuasan pengguna fasilitas (occupant satisfaction score)

2.       Ketersediaan aset penting (uptime)

3.       Pengurangan konsumsi energi atau biaya operasional

4.       Kepatuhan terhadap standar keselamatan dan keberlanjutan

 

Dengan model ini:

·       Vendor memiliki kebebasan untuk menentukan cara terbaik mencapai hasil.

·       Inovasi, digitalisasi, dan efisiensi kerja menjadi bagian dari strategi bisnis.

·       Klien mendapatkan hasil nyata yang selaras dengan tujuan organisasi, bukan sekadar aktivitas rutin.

 

Relevansi untuk Tim FM di Indonesia

Perubahan ini membutuhkan transformasi mindset dan kompetensi dari seluruh tim FM, baik dari sisi klien maupun penyedia layanan.

 

Beberapa langkah yang perlu dipersiapkan antara lain:

·       Peningkatan kemampuan analitik dan pengukuran kinerja, agar tim dapat mengelola KPI berbasis hasil.

·       Pemahaman teknologi dan data-driven decision, karena outcome-based bergantung pada bukti data, bukan asumsi.

·       Perubahan budaya kerja dari “menjalankan perintah” menjadi “mencapai hasil”.

·       Kemitraan strategis dengan vendor, bukan sekadar hubungan transaksi.

Langkah-langkah tersebut perlu ditingkatkan oleh kedua belah pihak, selaku client dan vendor, karena memerlukan persamaan persepsi untuk bisa menjalankan model Outcome-Based Contracting (OBC) ini.

 

Dengan contoh indikator kinerja utama (KPI) yang disepakati, maka timbul komitment yang perlu dipelajari dan ditindaklanjuti bersama, contoh:

KPI

Client

Vendor

Tingkat kepuasan pengguna fasilitas (occupant satisfaction score).

Komitmen untuk mengisi survey secara aktif serta memberikan masukan untuk perbaikan.

Aktif untuk bertanya dan melakukan rapat koordinasi dengan client.

Ketersediaan aset penting (uptime).

Komitmen untuk mencatat dan memberikan data asset.

Memiliki system pencatatan serta rapih dokumentasi.

Pengurangan konsumsi energi atau biaya operasional.

Komitmen untuk semua karyawan mengikuti program yang disetujui dan pendanaan untuk mengganti peralatan yang sudah rusak.

Aktif memberikan usulan penghematan energi.

Kepatuhan terhadap standar keselamatan dan keberlanjutan.

Komitmen untuk semua karyawan mengikuti program keselamatan yang dibuat.

Meningkatkan kompetensi untuk mengetahui standar keselamatan dan aktif berkomunikasi kepada client.


Menatap Masa Depan FM yang Berorientasi Hasil

Era kontrak outcome-based membuka peluang besar bagi industri FM Indonesia untuk naik kelas. Dengan mengubah fokus dari berapa banyak orang yang bekerja menjadi seberapa besar hasil yang dicapai, organisasi dapat meningkatkan efisiensi, kepuasan pengguna, dan keberlanjutan jangka panjang.

 

Perusahaan dan profesional FM yang mampu beradaptasi dengan model ini, menguasai data, inovasi, dan kolaborasi akan menjadi pemain utama dalam ekosistem FM modern yang lebih strategis dan bernilai tinggi.

 

Semoga bermanfaat

 

Jumat, 07 November 2025

3 Faktor Kunci yang Membentuk Pengalaman Kerja Modern: Ruang, Layanan, dan Teknologi


Saat ini model kerja tradisional yang mengharuskan kehadiran secara fisik di kantor (work from office), kini mengalami perubahan besar. Efek pandemi mempercepat pergeseran menuju model kerja hybrid dan berdasarkan output/hasil, memenuhi kebutuhan karyawan yang menginginkan fleksibilitas kerja, kenyamanan, dan terhubung secara digital/online.

 

Untuk memenuhi perubahan ini, menjadi tantangan baru untuk banyak perusahaan di Indonesia, khususnya bagi tim Facility Management (FM) terutama; bagaimana memastikan ruang kerja tetap relevan, produktif, dan mendukung well-being pengguna dalam sistem kerja yang dinamis.

 

FM Tradisional adalah fokus pada pemeliharaan fisik Gedung, saat ini, FM memiliki tuntutan untuk memahami pengalaman pengguna (workplace experience) secara menyeluruh: bagaimana ruang, layanan, dan teknologi berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang menarik dan efisien.

Transformasi ke model kerja masa depan menuntut FM untuk beradaptasi dari peran operasional menjadi strategic enabler. Fokusnya bergeser dari “mengelola fasilitas” menjadi “mengelola pengalaman kerja”.

Untuk memastikan team FM memiliki kemampuan mengelola pengalaman kerja, berikut Tiga Faktor Kunci yang harus diketahui dan dikelola oleh FM:

1) Ruang:

  • Meningkatkan efisiensi ruang melalui data okupansi dan sensor IoT.
  • Memaksimalkan area kolaborasi yang mendukung kreativitas dan koneksi antar karyawan dengan membuatkan program bersama team HR.
  • Membantu memberikan ide mengenai desain ruang kerja yang fleksibel yang dapat mengakomodasi kerja tim, individu, dan remote.

 

2) Service/Layanan:

  • Membuat tolak ukur layanan secara hasil dan focus kepada pengguna, tidak hanya sekadar rutinitas operasional dan pemeliharaan.
  • Memastikan fasilitas menyediakan layanan yang mendukung kesehatan dan kenyamanan (indoor air quality, lighting, ergonomi).
  • Merubah mindset dari team FM menjadi focus kepada hospitality mindset.

 

3) Teknologi:

  • Mengadopsi digital workplace tools: smart building system, aplikasi pemesanan ruang, dan platform feedback pengguna.
  • Belajar mengerti data serta memanfaatkan data dari digital tools untuk keputusan berbasis insight (data-driven FM).
  • Memastikan sistem keamanan dan privasi tetap terjaga di era kerja digital.

 

Faktor Penggerak Utama:

  • Well-being: Karyawan menginginkan lingkungan kerja yang menyehatkan fisik dan mental.
  • Flexibility: Ruang kerja harus mudah disesuaikan dengan pola kerja yang berubah-ubah.
  • Technology: memastikan fasilitas teknologi sesuai dengan kebutuhan untuk memenuhi pengalaman kerja karyawan termasuk kemudahan interaksi digital dan otomatisasi proses.

 

Perubahan ke model kerja masa depan bukan hanya perubahan cara kerja, tetapi perubahan cara berpikir dalam pengelolaan fasilitas. Tentunya, komunikasi aktif antara team FM, HR dan manajemen perlu selalu dilakukan untuk memastikan kualita layanan terjaga.

FM kini memiliki peran penting sebagai arsitek pengalaman kerja, yang menggabungkan ruang, layanan, dan teknologi untuk menciptakan lingkungan yang produktif, sehat, dan fleksibel.

 

Untuk team FM di Indonesia, perusahaan yang mampu beradaptasi dengan pendekatan ini akan memiliki keunggulan kompetitif; menarik talenta terbaik, meningkatkan engagement, dan memperkuat budaya kerja di era digital.

 

Hal-hal penting yang perlu dicatat:

  • Model kerja masa depan = fokus pada pengalaman kerja, bukan sekadar kehadiran.
  • Fungsi FM = berperan sebagai pengelola ruang, layanan, dan teknologi secara terintegrasi.
  • Faktor utama = well-being, fleksibilitas, dan teknologi pintar.

Tujuan akhir dari team FM adalah meningkatkan workplace experience untuk produktivitas dan memastikan karyawan nyaman di fasilitas kerja sehingga mendukung core business dari perusahaan.

Kita sebagai team FM perlu membangun kolaborasi lintas fungsi; HR, IT, dan Business Leaders untuk memastikan workplace experience menjadi bagian dari strategi bisnis, bukan sekadar biaya operasional.


Semoga bermanfaat



Minggu, 28 September 2025

3 Soft-Skills Penting dalam Facility Management


Kita sebagai Facility Manager perlu mengerti hal-hal teknis seperti pemeliharaan gedung, pengelolaan aset, atau pengawasan kebersihan. Beberapa dari Facility Manager merasa bangga sudah mengerti banyak hal teknis di fasilitas mereka. Saat ini, keahlian teknis adalah sebagian dari keahlian seorang Facility Manager. Kita, Facility Manager, perlu mengerti keahlian non-teknis, atau soft-skill. 

Article yang dituliskan oleh Vallen Emery di blog Facility Executive.com dengan judul: A people first approach: Soft-skills in Facility Management menjelaskan pentingnya penguasaan soft-skills ini. 

Dalam operasional facility management sering terjadi hal-hal berikut: 
  • Miskomunikasi antara tim operasional dan user dari fasilitas dapat menimbulkan kesalahpahaman, keterlambatan, bahkan konflik.
  • Kurangnya kolaborasi antar-anggota team atau antara department bisa membuat pekerjaan tidak sinkron. 
  • Tidak adanya rasa empati dari seorang manajer sering menyebabkan turunnya motivasi karyawan dan terganggunya hubungan kerja.
Hal-hal tersebut dapat menghambat kinerja fasilitas yang seharusnya mendukung produktivitas organisasi.

Soft-skills seperti apa yang perlu dimiliki oleh Facility Manager untuk menghindari kejadian tersebut?

Berikut tiga soft-skills penting yang perlu dimiliki seorang Facility Manager untuk Meningkatkan  perlu memperkuat tiga soft skill utama berikut:

1. Komunikasi yang Benar
Kita, sebagai Facility Manager perlu menyampaikan informasi secara jelas, tepat, dan terbuka, baik kepada tim internal maupun pihak eksternal. Komunikasi yang efektif mencakup mendengarkan aktif, memberikan arahan yang mudah dipahami, serta memastikan setiap orang memiliki informasi yang sama. 
Facility Manager perlu membuat wadah - jadwal rutin meeting untuk berkomunikasi dengan team; internal dan/atau eksternal. Jadwal rutin mingguan, bulanan dan/atau kondisi khusus perlu dibuat, agar mendapatkan masukan serta pertanyaan dari team, jika diperlukan/ada.
Dengan komunikasi yang baik, kesalahan teknis dapat diminimalkan dan keputusan dapat diambil lebih cepat. 

2. Teamwork dan Kolaborasi
Facility Manager akan selalu memiliki team, baik anggota team internal atau eksternal; vendor, user fasilitas, pihak pengelola gedung, dan/atau lainnya. Kita sebagai Facility Manager perlu berkolaborasi dengan semua team, berbagai tugas, menjelaskan tanggung jawab, ukuran kinerja dan memastikan semua pihak mengerti tugas dan tanggung jawab masing-masing. 
Kemampuan membangun kerja sama dan kolaborasi membuat setiap anggota tim merasa memiliki peran penting dalam mencapai tujuan bersama. Facility Manager yang mendorong kerja tim akan menciptakan lingkungan kerja yang harmonis dan produktif.

3. Empati dan Kecerdasan Emosional
Dalam bekerja, Facility Manager mempunyai tanggung jawab dan tentunya ada tekanan pekerjaan. Pastinya, semua anggota team facility management akan memiliki tekanan pekerjaan sesuai dengan bebannya masing-masing. Di era sekarang, bekerja perlu memperhatikan bagaimana kesehatan mental, karena itu, sikap berempati perlu diusahakan kepada semua orang yang bekerja di facility management. Kita sebagai seorang Facility Manager perlu belajar untuk memahami kebutuhan, kekhawatiran, dan motivasi orang lain, baik itu anggota tim maupun atasan/client. Perlu belajar untuk mengkombinasikan dengan kecerdasan emosional—kemampuan mengenali dan mengelola emosi diri sendiri dan orang lain. Jika semua ini dilakukan, seorang Facility Manager dapat meredam konflik, menjaga hubungan yang sehat, dan memotivasi tim di situasi penuh tekanan.

Operasional dari Facility Management akan berhasil jika komunikasi, teamwork, kolaborasi dan sikap berempati bisa diterapkan oleh Facility Manager dan masing-masing anggota team. Keberhasilan facility Management sangat tergantung oleh manusia yang mengelolanya. Policy, system, dan procedure adalah faktor-faktor pendukung yang menunjang operasional dari facility management. 

Dengan menguasai soft-skills; komunikasi, teamwork & kolaborasi dan empati, seorang Facility Manager akan mampu menjaga fasilitas berfungsi optimal, dan menciptakan lingkungan kerja yang positif, produktif, dan berkelanjutan.

Semoga Bermanfaat!

Berikut link dari blog Facility Executive: https://facilityexecutive.com/a-people-first-approach-soft-skills-in-facilities-management 

Minggu, 31 Agustus 2025

4 Hal Penting Procurement dalam Facility Management


Dalam mengelola fasilitas, kita sebagai Facility Manager akan terhubung dengan vendor yang mendukung fasilitas tersebut. Pastinya, mengelola vendor ini menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh para Facility Manager. Tantangan terkait pengelolaan vendor ini antara lain: 

  • Kualitas layanan dari vendor yang berbeda tidak konsisten.
  • Respons lambat dalam penanganan masalah darurat.
  • Kesulitan mengukur kinerja vendor secara objektif.
  • Pembengkakan biaya tak terduga akibat kontrak yang tidak jelas.
  • Risiko operasional akibat ketergantungan pada vendor yang tidak kompeten. 

Kinerja dari vendor yang tidak memadai, pastinya akan mengganggu operasional fasilitas. Gangguan ini akan berdampak signifikan pada biaya dan produktivitas.

Secara organisasi, team Procurement memegang peranan penting terkait dengan mengelola vendor, mulai dari memilih vendor, membuatkan standar kontrak dan lainnya. Dalam hal pengelolaan vendor, berikut 4 hal penting yang perlu dilakukan oleh team Procurement:  

1. Standarisasi Pemilihan Vendor Berkualitas. Proses seleksi vendor yang terstandarisasi merupakan fondasi utama procurement FM yang efektif. Standarisasi ini harus mencakup:

Kriteria Seleksi yang Jelas:

  • Pengalaman dan track record di industri sejenis
  • Kemampuan finansial dan stabilitas perusahaan
  • Ketersediaan sumber daya dan teknologi
  • Sertifikasi kompetensi (ISO, SMK3, bidang teknis tertentu)

Proses yang Transparan:

  • Penggunaan RFP (Request for Proposal) terstruktur
  • Evaluasi oleh tim multidisiplin (FM, procurement, legal)
  • Due diligence menyeluruh termasuk kunjungan lapangan

2. Standarisasi Kontrak & Evaluasi Kinerja Vendor. Kontrak yang terstandarisasi melindungi kedua belah pihak dan memastikan keselarasan ekspektasi:

Komponen Kontrak yang Penting:

  • SLA (Service Level Agreement) yang terukur dan realistis
  • Mekanisme penalti dan reward yang jelas
  • Klausul terminasi dan exit strategy
  • Penyesuaian harga yang transparan

Sistem Evaluasi Kinerja:

  • KPI kuantitatif (waktu respons, tingkat resolusi pertama)
  • Survey kepuasan pengguna fasilitas
  • Audit berkala dan review kinerja dalam periode yang disetujui bersama (bulanan atau 3 bulan)

3. Meningkatkan Kualitas Vendor secara Berkelanjutan. Pengembangan vendor bukanlah biaya, melainkan investasi. Bentuk investasi yang bisa dilakukan oleh team FM dan procurement:

Program Pengembangan:

  • Training dan workshop reguler
  • Berdiskusi terkait best practices
  • Feedback konstruktif yang berkelanjutan
  • Program reward untuk kinerja outstanding

Kolaborasi Strategis:

  • Vendor sebagai partner innovation
  • Joint improvement projects
  • Technology transfer dan knowledge sharing

4. Manajemen Risiko dalam Proses Procurement. Pendekatan proaktif terhadap manajemen risiko yang disetujui bersama antara team FM, procurement dan vendor itu sendiri:

Identifikasi Risiko:

  • Ketergantungan pada vendor tertentu
  • Risiko compliance dan regulasi
  • Single point of failure

Strategi Mitigasi:

  • Multi-sourcing untuk layanan kritis
  • Contractual risk sharing
  • Business continuity planning dengan vendor
  • Insurance requirement yang memadai

Dengan menerapkan 4 hal tersebut, team Procurement akan memberikan vendor yang memberikan manfaat dalam operasional FM, utamanya: 

  1. Penghematan Biaya: dengan adanya kontrak yang lebih optimal.
  2. Kualitas Layanan yang Konsisten: SLA yang jelas dan terukur
  3. Pengurangan Risiko: Mitigasi proaktif terhadap potensi masalah
  4. Innovasi: Vendor menjadi partner pengembangan fasilitas

Team Procurement perlu memiliki program berikut untuk meningkatkan pengelolaan vendor:

  • Membuat Standard Operating Procedure terkait procurement vendor.
  • Menerapkan Sistem Evaluasi kinerja yang objektif dan transparan.
  • Hal di atas dilakukan dengan bekerjasama dengan team operasional sehingga bisa mendapatkan vendor yang tepat dan kinerja yang terukur.
  • Mengembangkan Template Kontrak standar untuk berbagai jenis layanan. Tentunya bekerjasama dengan team legal perusahaan terkait klausa – klausa yang dituliskan dalam kontrak.
  • Investasi dalam pengembangan kapabilitas vendor. Investasi ini bisa berupa edukasi secara regular serta kolaborasi dengan team operasional mengenai harapan dan hasil actual di area kerja.

Standarisasi procurement dalam Facility Management bukan hanya tentang penghematan biaya, tetapi tentang menciptakan ekosistem vendor yang berkualitas, andal, dan berkomitmen terhadap keunggulan operasional yang akan sangat mendukung team FM dalam memastikan pengelolaan fasilitas.

Dengan pendekatan yang terstruktur dan sistematis, perusahaan/organisasi dapat mengubah fungsi procurement dari sekadar administrative cost center menjadi strategic value creator yang memberikan kontribusi nyata terhadap pengembangan dan keberlanjutan fasilitas.

"Vendor yang berkualitas adalah extended team yang membantu mencapai excellence dalam pengelolaan fasilitas."

 

Semoga bermanfaat!



Top 5 Teknologi Facility Management yang Wajib Diketahui di Era Digital


Peran Facility Management (FM) dalam perusahaan semakin strategis. Tidak hanya sebatas menjaga gedung tetap berfungsi, tetapi juga menciptakan lingkungan kerja yang aman, efisien, nyaman, dan berkelanjutan. Dengan semakin kompleksnya kebutuhan perusahaan, maka tantangan yang dihadapi oleh FM memerlukan solusi yang lebih cepat, dan terukur. 

Saat ini, kita sebagai Facility Manager memiliki tantangan dalam hal-hal berikut:

  1. Tingginya biaya operasional energi dan pemeliharaan.
  2. Ketidakefisienan dalam mengelola aset dan ruang.
  3. Respons lambat terhadap keluhan pengguna gedung.
  4. Kurangnya data real-time untuk pengambilan keputusan.
  5. Kesulitan memenuhi standar keberlanjutan (ESG).

 

Dalam era digital saat ini, teknologi menjadi solusi utama untuk menjawab tantangan-tantanga tersebut. Berdasarkan insights dari JLL Technologies (JLLT) dan Truein, berikut lima teknologi yang sedang membentuk masa depan FM:

1. Artificial Intelligence (AI) & Machine Learning. AI mengubah FM dari reaktif menjadi proaktif. AI bisa memberikan analisis prediktif, sehingga kita bisa:

  • Memperkirakan kerusakan aset sebelum terjadi (predictive maintenance).
  • Mengoptimalkan penggunaan ruang dan energi berbasis data.
  • Mengotomatiskan layanan melalui AI chatbot untuk respons cepat.

 

2. Internet of Things (IoT) & Smart Building. Penempatan sensor-sensor IoT menghubungkan dunia fisik dengan digital dan menerapkan Smart Building, sehingga bisa:

  • Pemantauan real-time kualitas udara, suhu, dan tingkat hunian.
  • Integrasi dengan Building Management System (BMS) untuk otomatisasi HVAC dan pencahayaan.
  • Gedung menjadi adaptif terhadap kebutuhan penghuni.

 

3. Computerized Maintenance Management System (CMMS) & Integrated Workplace Management System (IWMS). Platform terintegrasi ini menyederhanakan manajemen FM dalam mengelola permintaan/keluhan dari pengguna, jadwal pemeliharaan :

  • CMMS mengelola work order, jadwal perawatan, dan vendor.
  • IWMS memberikan visibilitas penuh atas aset, ruang, dan biaya.
  • Mengurangi downtime dan meningkatkan efisiensi tim.

 

4. Teknologi Lingkungan & Sustainability Tools. Untuk beberapa perusahaan yang sudah mengukur informasi terkait lingkungan, FM memegang peran kunci dalam memastikan data terangkum dengan baik. Beberapa teknologi yang terkait ESG:

  • Smart metering untuk pelacakan konsumsi energi dan air. Informasi ini bisa terhubung dengan BMS serta tercatat dalam Smart Building System.
  • Sensor kualitas udara untuk kesehatan penghuni. Sensor akan memberikan notifikasi jika adanya perubahan Dari kualitas udara di area kerja.
  • Platform pelaporan otomatis untuk target karbon perusahaan yang bisa dikondisikan dengan data secara manual.

 

5. Mobile Apps & Self-Service Platforms. Aplikasi dan platform ini bertujuan untuk Fokus pada pengalaman pengguna:

  • Booking ruang rapat, parkir, atau meja kerja via aplikasi. Secara umum dengan menggunakan MS Outlook atau aplikasi lainnya.
  • Pelaporan kerusakan secara real-time oleh pengguna dengan menggunakan system help desk yang terintegrasi dengan CMMS.
  • Transparansi layanan dan penyelesaian masalah yang cepat dengan menggunakan dashboard mengenai lamanya proses penyelesaian masalah disesuaikan dengan service level yang sudah disetujui.

 

Solusi terkait tantangan sebelumnya bisa dirangkum sebagai berikut:

Tantangan

Solusi

Tingginya biaya operasional energi dan pemeliharaan.

- Pemasangan sensor IOT dan Smart Building.
-  Jadwal pemeliharaan produktif menggunakan CMMS.

Ketidakefisienan dalam mengelola aset dan ruang.

- Implementasi IWMS secara efektif dan terarah.
- Evaluasi secara rutin mengenai efektifitas penggunaan asset dan ruang.

Respons lambat terhadap keluhan pengguna gedung.

- Implementasi system help desk.
- Aktif evaluasi mengenai penyelesaian masalah dengan team FM.- Aktivasi mobile apps dan platform self-service.

Kurangnya data real-time untuk pengambilan keputusan.

- Membuat standarisasi pengukuran terkait Facility Management.
- Implementasi IoT dan Smart Building.- Peningkatan kompetensi dari Facility Manager.

Kesulitan memenuhi standar keberlanjutan (ESG).

- Implementasi teknologi lingkungan dan Sustainability Tools.
- Edukasi terhadap team FM terkait ESG.

 

Lima teknologi tersebut adalah masa depan dari Facility Management untuk menjawab tantangan para Facility Manager.

Mari siapkan fasilitas serta pengetahuan kita dengan pengetahuan serta fasilitas dari teknologi tersebut.

 

Sumber referensi terkait teknologi berdasarkan dari:

1. JLL Technologies – Facilities Management Trends to Watch in 2024:  https://www.jllt.com/blog/facilities-management-trends-to-watch-in-2024

2. Truein – 12 Key Facility Management Trends for 2025: https://truein.com/facility-management-trends



Rabu, 30 Juli 2025

Prinsip Pareto 80/20 dalam Facility Management: Fokus pada Yang Paling Berdampak



Saya baru selesai membaca buku Prinsip 80/20 karangan Richard Koch. Prinsip 80/20, atau dikenal juga sebagai “Pareto Principle”, adalah salah satu konsep paling berpengaruh dalam meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Dikemukakan oleh Richard Koch dalam bukunya “The 80/20 Principle”, prinsip ini mengungkapkan bahwa “80% hasil berasal dari 20% usaha”, artinya, sebagian besar pencapaian kita sebenarnya datang dari sedikit tindakan yang benar-benar penting. 

Saya tertarik untuk mencari tahu lebih lanjut prinsip 80/20 dalam industry facility management dan menurut beberapa sumber berikut, dalam beberapa hal, prinsip 80/20 berlaku dalam dunia facility management:

  • Menurut Scale123, dalam pengelolaan fasilitas, 20% dari unit, vendor, atau masalah teknis bisa menyumbang 80% dari total keluhan, biaya, atau risiko operasional. Dengan memahami pola ini, facility manager dapat mengalihkan perhatian dari pendekatan serba reaktif ke arah yang lebih fokus dan efisien.
  • FaultFixers menekankan bahwa prinsip 80/20 sangat penting dalam keseimbangan antara preventive dan reactive maintenance. Mereka menunjukkan bahwa sebagian besar downtime, biaya perbaikan, dan keluhan terjadi akibat ketidakteraturan dalam menangani “20% aset bermasalah”.

 

Secara umum, team facility management mengalami hal-hal berikut dalam operasional:

  • Terlalu Banyak Fokus pada “Trivial Many”. Banyak tim FM terjebak dalam upaya menyelesaikan semua masalah secara merata, termasuk masalah kecil yang jarang berdampak besar. Akibatnya, sumber daya tersedot untuk hal yang sebenarnya bisa ditunda atau diotomatisasi.
  • Tidak Memiliki Prioritas Data-Driven. Tanpa data dan visualisasi yang baik (misalnya Pareto Chart), manajer sulit membedakan mana aset, lokasi, atau vendor yang seharusnya menjadi prioritas tinggi.
  • Biaya dan Waktu Hilang untuk Masalah yang Salah. Tanpa strategi Pareto, perusahaan bisa menghabiskan 80% anggaran maintenance untuk 80% aset yang jarang rusak, sementara aset “kritis” luput dari perhatian.

 

Identifikasi “Vital Few” Penyebab Utama:

Sumber dari SSG Insight menyarankan agar manajer fasilitas mengidentifikasi area atau aset yang paling sering menyebabkan gangguan atau keluhan. Ini bisa dilakukan dengan:

  1. Menganalisis data tiket layanan
  2. Mengkaji histori downtime dan biaya perbaikan
  3. Mengklasifikasikan aset berdasarkan criticality level 
  4. Menggunakan Pareto Chart untuk memvisualisasikan 20% penyebab utama

 

Strategi Praktis Penerapan Prinsip 80/20

Berikut langkah konkret yang bisa dilakukan oleh tim facility management berdasarkan keempat sumber:

1. Gunakan CMMS atau Platform Digital. Platform seperti FaultFixers dan lainnya membantu mencatat dan mengelompokkan masalah berdasarkan tipe, lokasi, dan frekuensi. Dengan sistem ini, Anda bisa dengan mudah melihat tren dan sumber masalah dominan.

2. Lakukan Pareto Analysis secara Berkala. Seperti dijelaskan dalam MaintenX, analisis Pareto dapat digunakan untuk mengidentifikasi masalah yang paling mahal, paling sering terjadi, atau paling mengganggu operasi. Ini membantu manajer menetapkan prioritas perbaikan yang berdampak nyata.

3. Tingkatkan Preventive Maintenance pada Aset Kritis. Setelah mengetahui aset yang menyumbang 80% risiko, jadwalkan preventive maintenance lebih sering pada aset tersebut. Ini akan menurunkan kemungkinan kerusakan dan meningkatkan umur pakai.

4. Evaluasi Vendor atau Kontraktor. Dalam property management, Scale123 mencatat bahwa 20% vendor bisa menyumbang 80% masalah kualitas pekerjaan. Dengan data tersebut, tim bisa mengganti atau memperbaiki kontrak kerja sama.

 

Dengan menerapkan prinsip Pareto 80/20 dalam industry facility management akan menjadi strategi yang sangat relevan untuk facility management modern. Dengan memanfaatkan data historis dan alat analisis sederhana, tim FM bisa memfokuskan usaha pada area yang paling berdampak — baik dalam hal efisiensi biaya, peningkatan layanan, maupun pengelolaan risiko.

 

Ingat, bukan semua masalah harus diselesaikan hari ini. Tapi 20% masalah yang benar harus diselesaikan lebih dulu.

Sumber Referensi:

https://www.scale123.com/pareto-principle-property-management/

https://www.faultfixers.com/blog/the-80-20-rule-for-preventative-and-reactive-maintenance

https://ssginsight.com/about-us/news-events/leveraging-the-80-20-rule-for-success/

https://maintenx.com/the-80-20-rule-of-facility-maintenance/



Sabtu, 19 Juli 2025

Facility Management vs. Workplace Management di Era Kerja Hybrid: 4 Strategy Penting Untuk Integrasi

Setelah lebih dari 25 tahun bekerja di bidang facility management, saya pikir saya cukup familiar dengan istilah, sistem, dan dinamika pekerjaan di dalamnya. Namun, sejak 2020, ada satu istilah yang terus muncul dalam setiap diskusi, webinar, dan bahkan percakapan santai antar team: workplace management.

 

Dulu istilah ini tidak terlalu ramai. Tapi pasca pandemi COVID-19, seolah ada pergeseran besar: bukan hanya soal menjaga fasilitas tetap berfungsi, tapi juga bagaimana fasilitas itu mendukung cara kerja baru—yang fleksibel, digital, dan berbasis pengalaman karyawan.

 

Banyak Organisasi Masih Fokus pada Gedung, Bukan Penggunanya

Saat ini, banyak perusahaan di Indonesia—terutama sektor perbankan, manufaktur, dan instansi publik—masih menganggap facility management (FM) cukup untuk menjalankan operasional kantor. Padahal di era kerja hybrid, pengalaman kerja (employee experience) sudah menjadi faktor utama dalam retensi, produktivitas, bahkan kesehatan mental karyawan.

 

Akibatnya:

  • Ruang kantor tetap rapi, tapi karyawan merasa tidak terhubung.
  • Infrastruktur berjalan baik, tapi ruang meeting jarang dipakai.
  • AC dingin, tapi suara bising membuat fokus terganggu.

 

Belum Ada Pemahaman Jelas tentang Perbedaan FM dan WM

Banyak perusahaan belum membedakan antara FM dan Workplace Management (WPM) karena keduanya sering ditangani oleh tim yang sama. Padahal, fokus, pendekatan, dan stakeholder-nya berbeda:

Aspek

Facility Management

Workplace Management

Fokus

Infrastruktur fisik (gedung, AC, listrik)

Pengalaman kerja karyawan

Tujuan

Efisiensi & kepatuhan

Produktivitas & kepuasan

Pendekatan

Reaktif, operasional

Proaktif, strategis

Stakeholder

Vendor, teknisi, manajemen properti

HR, IT, karyawan

Teknologi

CMMS, sensor gedung

Apps booking ruang, occupancy sensor

 

Integrasi Peran FM dan WPM dalam Strategi Workplace Modern

Dengan adanya perbedaan tersebut, FM dan WPM dapat saling melengkapi. Berikut 4 strategi yang bisa dilakukan perusahaan atau praktisi FM:

1. Tingkatkan Kolaborasi Antarfungsi. FM harus bekerja erat dengan HR, IT, dan bahkan user langsung. Seorang FM perlu mengenal kebutuhan dari team HR, IT dan user dengan salah satu cara melakukan survey terhadap user langsung dan evaluasi terhadap fasilitas yang ada.


2. Kembangkan Skill Baru untuk Team FM. Team FM perlu meningkatkan pemahaman tentang terkait hubungan dengan user langsung, seperti; design thinking, employee journey, dan data analytics. FM tidak hanya bicara genset dan AC, tapi juga tentang how people feel at work.


3. Gunakan Teknologi Terintegrasi. Gabungkan CMMS (untuk infrastruktur) dengan aplikasi workspace experience (untuk pengguna). Menurut saya, ini adalah teknology yang akan sangat membantu jika diterapkan di perkantoran. Misal; suhu ruang otomatis menyesuaikan berdasarkan jadwal meeting dan jumlah orang.

4. Reformasi KPI: 

  • FM: Maintenance plan, efisiensi energi, downtime.
  • WPM: employee satisfaction, tingkat pemanfaatan ruang, adopsi digital tools.

Penggabungan indicator tersebut dalam satu dashboard workplace performance akan menjadikan strategi untuk team FM lebih berkembang.


Sebagai praktisi FM, saya dulu fokus pada satu pertanyaan: “Apakah gedung ini berfungsi?” Tapi sekarang, saya belajar menanyakan hal yang lebih penting: “Apakah orang-orang di dalamnya bisa bekerja dengan optimal dan bahagia?”

Transformasi ini menantang, tapi juga membuka peluang besar untuk menjadikan FM lebih strategis, relevan, dan berdampak langsung ke bisnis.

Saatnya Bertransformasi

  • Apakah perusahaan atau organisasi anda masih memisahkan FM dan WPM sebagai silo?
  • Sudahkah pengalaman kerja masuk dalam diskusi strategi fasilitas?
  • Sebagai team FM, “Apa satu hal yang bisa saya ubah hari ini agar workspace lebih mendukung karyawan?”

Di masa depan, gedung yang hebat bukan hanya yang tidak bocor dan dingin. Tapi gedung yang membuat orang betah, fokus, dan merasa terhubung.

Dan di sinilah FM dan WPM harus berjalan bersama.


Semoga bermanfaat!


Rabu, 04 Juni 2025

7 Kompetensi Inti yang Harus Dikuasai oleh Facility Manager



Saya sudah beberapa kali menuliskan mengenai core competencies yang perlu dimiliki oleh Facility Manager. Dunia facility management selalu berkembang. Hingga hari ini, otomatisasi mulai banyak diimplementasikan, sustainability mulai diterapkan serta perusahaan sudah mulai memiliki ekspektasi bisnis yang lebih besar terhadap facility manager dalam mengelola fasilitas.

Sudah bisa dipastikan, Facility Manager (FM) akan selalu memegang peran penting dalam menjaga operasional bangunan, mendukung produktivitas karyawan perusahaan, dan memastikan keberlanjutan fasilitas.

Saya mendapatkan artikel menarik dari blog IFMA mengenai 7 kompetensi inti (core competencies) berikut harus dikuasai oleh FM untuk sukses di era saat ini, yang baru saja dituliskan di bulan May 2025. Berikut core competencies yang perlu dikuasai oleh FM menurut IFMA:

1. Kepemimpinan dan Strategi (Leadership & Strategy) 

FM perlu memiliki kemampuan memimpin tim dan mengembangkan strategi yang selaras dengan tujuan bisnis perusahaan sangat penting. Ini meliputi: 

  • Perencanaan jangka panjang untuk pengembangan fasilitas. 
  • Kolaborasi dengan stakeholders (manajemen, karyawan, vendor). 
  • Pengambilan keputusan berbasis data untuk meningkatkan efisiensi. 

FM perlu mengerti mengenai bisnis dari perusahaan dan bagaimana facility management menjadi faktor penting yang mendukung lancarnya operasional dari bisnis tersebut. FM harus bisa menjadi penghubung antara operasional fasilitas dan visi perusahaan. 

 

2. Operasional dan Pemeliharaan (Operations & Maintenance) 

FM bertanggung jawab atas kelancaran operasional harian, termasuk: 

  • Preventive & predictive maintenance untuk menghindari downtime. 
  • Manajemen aset (HVAC, listrik, plumbing). 
  • Penerapan teknologi seperti; CAFM (Computer-Aided Facility Management) untuk pemantauan real-time, BMS, CMMS. 

FM perlu melakukan evaluasi secara aktif untuk aktivitas operasional sehingga informasi penting seperti; penggantian material, potensi masalah serta peningkatan kinerja bisa diinformasikan ke team management.

 

3. Keberlanjutan dan Tanggung Jawab Lingkungan (Sustainability & Environmental Stewardship) 

Isu lingkungan dan perhitungan mengenai pemakaian energi semakin kritis serta menjadi perhatian dari perusahaan, karena itu, FM harus menguasai: 

  • Pengelolaan energi dan air (misalnya, sertifikasi LEED atau WELL). 
  • Pengurangan limbah (zero-waste initiatives, daur ulang). 
  • Kepatuhan regulasi lingkungan (seperti ISO 14001). 

FM perlu menambah ilmu dengan belajar memperkenalkan sustainability kepada team management yang memberikan dampak, baik secara internal, focus mengenai penghematan, serta eksternal, terutama reputasi perusahaan. 

 

4. Manajemen Proyek (Project Management)

FM sering terlibat dalam proyek renovasi, relokasi, atau konstruksi. Kompetensi yang dibutuhkan: 

  • Perencanaan anggaran dan timeline. 
  • Koordinasi dengan kontraktor dan arsitek. 
  • Manajemen risiko proyek.

FM perlu belajar mengenai manajemen proyek, sehingga perusahaan melihat nilai tambah dari kita, sebagai FM dalam mengelola proyek. Tentunya, perlu disadari serta dibuatkan batas-batas mengenai role seorang FM dalam mengelola proyek.


5. Komunikasi dan Hubungan Stakeholder (Communication & Relationship Management) 

Sudah teruji, bahwa FM yang benar, harus mampu berkomunikasi efektif dengan berbagai pihak, beberapa komunikasi penting perlu dilakukan, seperti: 

  • Laporan kinerja fasilitas kepada manajemen. 
  • Negosiasi dengan vendor dan penyedia jasa. 
  • Respons cepat terhadap keluhan pengguna fasilitas. 

Komunikasi efektif dengan memastikan sikap proaktif untuk selalu memberikan laporan kinerja serta potensi resiko yang ada, usulan inovasi dan melakukan eskalasi jika ada ketidakcocokan dengan management.


6. Manajemen Keuangan (Financial Management) 

Manajemen keuangan adalah hal utama dalam Facility Management, FM perlu memahami aspek finansial, termasuk: 

  • Penyusunan anggaran tahunan. 
  • Cost-benefit analysis untuk investasi fasilitas. 
  • Pengendalian biaya operasional. 

FM wajib mengerti manajemen keuangan terutama untuk memberikan masukan mengenai potensi biaya tinggi terkait dengan pemeliharaan serta resiko yang mungkin terjadi jika adanya penundaan pemeliharaan (resiko kecil atau besar).


7. Kualitas dan Pengukuran Kinerja (Quality & Performance Measurement)

FM perlu mengerti secara penuh, target performance yang perlu dicapai dalam facility management, sehingga harus bisa mengevaluasi kinerja fasilitas melalui: 

  • Key Performance Indicators (KPIs) seperti uptime peralatan, kepuasan pengguna. 
  • Benchmarking dengan standar industri. 
  • Audit fasilitas secara berkala. 

Performance dari facility management akan terhubung dengan performance dari perusahaan, utamanya energi, biaya operasional serta keuangan.


Dari IFMA, FM perlu memiliki 11 kompetensi inti, adapun penguasaan dari 7 kompetensi inti ini akan memberikan impact yang lebih besar untuk perusahaan, serta kita, sebagai Facility Manager, akan menjadi FM yang lebih baik dengan penguasaan 7 kompetensi inti ini.

 

Sumber:

  • [IFMA Blog – 7 Core Competencies Every Facility Manager Needs to Master](https://blog.ifma.org/7-core-competencies-every-facility-manager-needs-to-master) 
  • Dengan menambahkan informasi sesuai pengalaman dari penulis.

3 Trend ESG di Tahun 2025


Environmental, Sustainability and Governance (ESG) adalah salah satu factor penting dalam dunia facility management saat ini. Secara umum di Indonesia, pergerakan dari peran ESG dalam dunia korporasi sudah mulai terasa.

Berdasarkan tulisan dari Jim Turner di www.facilitiesnet.com mengenai kondisi ESG di tahun 2025, dia menuliskan mengenai 3 trend makro berkelanjutan yang masih relevant untuk tahun 2025:


Trend 1: Energy Management

Energy management adalah hal pertama yang dipikirkan untuk manajemen perusahaan jika membahas ESG, terutama terkait sustainability. Energy Management menciptakan potensi untuk mengurangi biaya operasional melalui konsumsi energi yang lebih rendah. Peluang proyek di area ini berkisar dari pemasangan retrofit pengurangan energi, mengintegrasikan sumber energi terbarukan, dan menerapkan sistem manajemen energi yang melacak dan membantu mengoptimalkan penggunaan energi.

 

Upaya meningkatkan efisiensi energy telah dilakukan dengan beberapa cara antara lain:

  • Sistem pencahayaan: mengganti dengan LED hemat energi, dan mengganti HVAC system menjadi lebih baru dan efisien.
  • Penggunaan smart control yang mengoptimalkan penggunaan energi melalui, movement sensor, occupancy sensor atau timer on-off.
  • Penghematan air: mengganti keran lama, kepala shower, dan toilet dengan model aliran rendah, dan memasang sistem deteksi kebocoran.
  • Daur ulang air: mengumpulkan dan menyimpan air hujan untuk penggunaan non-potable, seperti irigasi dan pembilasan toilet.

 

Solusi renewable energy juga telah populer selama beberapa dekade ini (Amerika) dan dalam beberapa tahun terakhir (Indonesia).

Solusi surya paling populer adalah sistem photovoltaic (PV) – solar panel, yang mengubah sinar matahari langsung menjadi energi untuk menyalakan pencahayaan, peralatan, dan sistem HVAC.

Turbin angin tersedia dalam berbagai ukuran, termasuk proyek bangunan tunggal yang dipasang di atap atau ruang lain yang cocok untuk upaya skala komunitas atau kampus yang lebih besar.

Pompa panas geotermal lebih kompleks daripada proyek surya atau angin, tetapi memberikan pemanasan dan pendinginan yang efisien dengan menggunakan suhu stabil bumi.(catatan: system ini masih belum popular di Indonesia).

 

Tren 2: AI dan Teknologi

Artificial Intelligence (AI) – kecerdasan buatan akan mengubah manajemen fasilitas dengan memungkinkan pemeliharaan prediktif, meningkatkan pemanfaatan ruang, dan meningkatkan keamanan melalui analisis data dan otomatisasi. Beberapa dampak AI yang diharapkan meliputi:

  • Pemeliharaan prediktif: dapat melakukan analisa data dari catatan historis dan sensor, algoritma AI dapat memprediksi kemungkinan dan waktu kegagalan potensial untuk sistem penting seperti elevator, HVAC, dan generator, mendorong pendekatan proaktif terhadap pemeliharaan serta menghindari downtime. AI dapat menilai pola kinerja peralatan yang memungkinkan jadwal pemeliharaan lebih efisien dan memprioritaskan sistem kritis.
  • Pemanfaatan ruang: pelajaran yang dipetik dari era Work from Office (WFH) pasca-COVID-19 menunjukkan bahwa memerlukan pendekatan baru untuk mendapatkan pengalaman kerja yang baru kepada para karyawan bekerja di kantor umumnya terkait kenyamanan bekerja dan kualitas hidup dari para karyawan. AI memfasilitasi analisis pola okupansi dan preferensi karyawan, mengarah ke ruang yang dioptimalkan yang menghilangkan kepadatan dan mendorong pemanfaatan area yang kurang dimanfaatkan. Pada level berikutnya adalah smart workplace yang menggunakan AI untuk menyesuaikan ruang dengan kebutuhan dan preferensi penghuni dengan menyesuaikan pencahayaan, suhu, dan akustik.
  • Peningkatan keamanan dan keselamatan: AI menawarkan kesempatan untuk meningkatkan keamanan fasilitas dan karyawan melalui access control dan detection sensor jika ada yang mencurigakan. Dengan keamanan sebagai tujuan utama, AI dapat membantu mengelola access control sehingga personel yang berwenang dapat masuk dan keluar tempat kerja tanpa hambatan, sementara pengunjung diproses secara efisien dan akses mereka dibatasi pada ruang yang diizinkan.

 

Tren 3: Dampak untuk Sektor Publik  

Khusus untuk Amerika Serikat: belum ada kejelasan mengenai penetapan arah baru untuk keberlanjutan di sektor public, seperti Executive Order 14057 tahun 2021 "Catalyzing Clean Energy Industries and Jobs Through Federal Sustainability," yang menetapkan jadwal ambisius untuk mencapai listrik bebas polusi dan mengurangi emisi gas rumah kaca.

 

Secara umum, meskipun kemajuan ESG terlihat jelas di negara-negara Asia, tantangan regional masih signifikan dengan adanya kesenjangan implementasi antara ekonomi maju dan berkembang di Asia. Negara-negara dengan sumber daya terbatas menghadapi dilema dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan aspirasi keberlanjutan. Nantinya, transformasi digital, pertumbuhan keuangan berkelanjutan seperti obligasi hijau pemerintah, dan kolaborasi multi-stakeholder menjadi pendorong utama kemajuan ESG di sektor publik Asia, yang secara bertahap mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam inti pengelolaan pemerintahan dan layanan publik.

 

Catatan:


Sabtu, 24 Mei 2025

5 Faktor Penting yang Perlu Diketahui Praktisi Facility Management di Tahun 2025

Facility Management (FM) terus berkembang seiring dengan perubahan teknologi, tuntutan bisnis, dan kebutuhan pengguna. FM sudah lebih dari hanya tentang menjaga agar lampu tetap menyala. Seiring berkembangnya gedung menjadi ekosistem pengalaman, efisiensi, dan kepatuhan ESG, para pemimpin FM dituntut untuk memberikan lebih dari sekadar waktu aktif—mereka diminta untuk memberikan kepercayaan.

Berdasarkan artikel yang dituliskan oleh Myles Jensen di Facility Executive (facilityexecutive.com) tentang "Branding by Design: A Strategic Lever for FM Leaders in 2025", berikut lima faktor penting yang harus dipahami oleh praktisi FM/Facility Manager untuk tetap kompetitif dan efektif:  

1. Brand sebagai Infrastruktur Internal, Bukan Sekadar Logo.

Dalam industri Facility Management (FM), brand berfungsi sebagai sistem operasi internal yang membentuk seluruh aspek bisnis. Ini bukan hanya tentang logo atau materi pemasaran, tetapi merupakan fondasi yang mempengaruhi bagaimana staf berkomunikasi, bagaimana client memandang nilai layanan, dan bagaimana bisnis membangun kepercayaan di pasar yang kompetitif.

Menurut, Jensen & Jensen, sebuah agensi brand dan desain yang berfokus pada FM dan built environment, menekankan bahwa "Jika terlihat, itu adalah brand." Artinya, segala hal mulai dari cara menjawab telepon, penampilan kendaraan operasional, hingga pendekatan dalam proses pengadaan, semuanya merupakan bagian dari ekspresi brand. Dalam sektor di mana FM dapat mewakili hingga 30% dari biaya operasional, kepercayaan dan konsistensi menjadi kebutuhan komersial yang mutlak.

 

2. Identitas Modern sebagai Dasar untuk Ruang Kerja Modern

Desain ruang kerja fisik pada dasarnya adalah keputusan branding. Branding menjadi dasar yang menginformasikan perubahan lingkungan. Menurut pengalaman dari Jensen & Jensen, client-client FM yang melakukan rebrand menggunakan identitas baru mereka sebagai cetak biru untuk mendesain ulang seragam, papan petunjuk stasiun pembersihan, tata letak kantor, dan manual pelatihan. Efek riak terlihat di seluruh budaya tim dan interaksi client. Desain yang baik tidak hanya bersifat kosmetik; ia mempengaruhi suasana hati, motivasi, dan memori—tiga hal yang tidak boleh diabaikan oleh leader FM.

Dengan kata lain, FM yang mengerti mengenai desain ruang kerja, akan bisa menciptakan pengalaman yang konsisten dan bermakna di seluruh titik kontak fisik dan digital.

 

3. Warisan Tanpa Relevansi Adalah Beban

Banyak brand FM yang sukses dan dihormati—sering kali dengan warisan puluhan tahun—tetapi warisan tidak menjamin relevansi (hubungan). Material brand yang ketinggalan zaman—situs web yang usang, presentasi yang kaku, atau bagan organisasi yang membingungkan—dapat secara perlahan mengikis persepsi kredibilitas, terutama di mata client atau pemangku kepentingan yang lebih muda. Dalam satu proyek yang ditangani Jensen & Jensen, penyedia layanan berusia 50 tahun datang dengan kekhawatiran ini. Secara eksternal, mereka merasa terjebak di masa lalu. Secara internal, staf bangga—tetapi terputus dari babak berikutnya perusahaan.

 

4. Tahun 2025 sebagai Titik Infleksi Strategis untuk Branding FM

Sektor FM berada di persimpangan jalan dengan beberapa tren konvergen (tren yang bertabrakan – tidak normal) yang meningkatkan kebutuhan akan strategi brand:

 

  • Tekanan ESG dan Compliance: Dengan meningkatnya ekspektasi organisasi seputar keberlanjutan dan etika, penyedia FM diperiksa dengan lebih ketat. Brand yang jelas dan kredibel menjadi jalan pintas menuju keandalan yang dipersepsikan.
  • Transformasi Digital: Platform dan alat baru membutuhkan user experience (UX) yang lebih baik, onboarding yang lebih baik, dan komunikasi yang lebih baik. Branding mendasari ketiganya.
  • Pergeseran Tenaga Kerja: Dengan lima generasi yang sekarang hidup berdampingan di tempat kerja, identitas brand menjadi perekat—membantu staf lama dan baru menemukan bahasa dan tujuan bersama.
  • Kecanggihan Client: Pengadaan tidak lagi hanya digerakkan oleh harga. Persepsi brand dapat mempengaruhi keputusan shortlist, bahkan sebelum penilaian kemampuan dimulai.

 

5. Langkah Praktis untuk Facility Manager Mengoptimalkan Strategi Brand

Sebagai Facility Manager (FM), perlu mengambil beberapa langkah konkret untuk memaksimalkan nilai brand mereka:

  • Audit Setiap Titik Kontak: Periksa situs web, deck proposal, seragam, dan dokumen internal. Apa yang mereka katakan tentang siapa kita/FM Provider.
  • Libatkan Team: Branding bukan hanya latihan top-down. Libatkan staf garis depan, team engineer, dan tim administrasi. Masukan mereka adalah sangat penting untuk brand.
  • Sederhanakan, Kemudian Sistematis: Kejelasan mengalahkan kecerdikan. Hapus jargon. Buat sistem yang dapat diskalakan—dari signage hingga template email—sehingga semua orang tetap on-brand tanpa memerlukan gelar desain.
  • Jadikan Terukur: Lacak metrik berbasis brand. Kepuasan karyawan. Tingkat kemenangan dalam penawaran. Waktu yang dihabiskan untuk onboarding. Brand yang dilakukan dengan benar mengurangi gesekan—dan gesekan memiliki biaya.

Bisa disimpulkan bahwa dalam industri Facilities Management, brand merupakan sistem operasi strategis yang menyelaraskan orang, tujuan, dan kinerja. Bagi para pemimpin FM menghadapi tahun 2025, mengabaikan aspek branding berarti terus kehilangan nilai, sementara mengelolanya dengan tepat akan memperkuat seluruh operasi.


Sumber:  

  • Tulisan berdasarkan: Facility Executive - Branding by Design](https://facilityexecutive.com/branding-by-design-a-strategic-lever-for-fm-leaders-in-2025/).
  • Penulis: Jensen adalah Creative Director dan salah satu Pendiri Jensen & Jensen, sebuah agensi merek dan desain yang berbasis di Inggris yang mengkhususkan diri di sektor facility management dan built environment. Berdasarkan perpaduan pengalaman antara bekerja di agensi dan pengalaman in-house, Myles telah berkolaborasi dengan klien di bidang properti, kebersihan, dan real estate —termasuk The Crown Estate, Endersham Cleaning Co., Cushman & Wakefield, dan lainnya.

Transformasi Facility Management: Dari Aktivitas ke Hasil yang Terukur

Selama bertahun-tahun, sebagian besar kontrak Facility Management (FM) di Indonesia masih berorientasi pada input-based model, di mana fokus...