Selama bertahun-tahun, sebagian besar kontrak Facility Management (FM) di Indonesia masih berorientasi pada input-based model, di mana fokus utama ada pada jumlah tenaga kerja, jam kerja, dan aktivitas harian.
Misalnya,
keberhasilan layanan sering diukur dari berapa banyak teknisi yang ditempatkan,
seberapa cepat mereka hadir, atau seberapa sering jadwal pembersihan dilakukan.
Namun,
pendekatan ini menimbulkan sejumlah tantangan:
·
Tidak
selalu mencerminkan hasil nyata terhadap kepuasan pengguna atau efisiensi
operasional.
·
Menyulitkan
pengukuran value for money karena biaya meningkat tanpa jaminan peningkatan
kualitas.
·
Membatasi
inovasi, karena vendor cenderung “menjalankan rutinitas” ketimbang mencari cara
baru untuk meningkatkan kinerja fasilitas.
Tren global menunjukkan pergeseran menuju Outcome-Based Contracting (OBC) model di mana keberhasilan tidak lagi diukur dari jumlah orang, tetapi dari hasil kerja yang terukur.
Dalam model
ini, klien dan penyedia layanan menyepakati indikator kinerja utama (KPI) yang
berfokus pada hasil, seperti:
1.
Tingkat
kepuasan pengguna fasilitas (occupant satisfaction score)
2.
Ketersediaan
aset penting (uptime)
3.
Pengurangan
konsumsi energi atau biaya operasional
4.
Kepatuhan
terhadap standar keselamatan dan keberlanjutan
Dengan model
ini:
·
Vendor
memiliki kebebasan untuk menentukan cara terbaik mencapai hasil.
·
Inovasi,
digitalisasi, dan efisiensi kerja menjadi bagian dari strategi bisnis.
·
Klien
mendapatkan hasil nyata yang selaras dengan tujuan organisasi, bukan sekadar
aktivitas rutin.
Relevansi
untuk Tim FM di Indonesia
Perubahan ini
membutuhkan transformasi mindset dan kompetensi dari seluruh tim FM, baik dari
sisi klien maupun penyedia layanan.
Beberapa
langkah yang perlu dipersiapkan antara lain:
·
Peningkatan
kemampuan analitik dan pengukuran kinerja, agar tim dapat mengelola KPI
berbasis hasil.
·
Pemahaman
teknologi dan data-driven decision, karena outcome-based bergantung pada bukti
data, bukan asumsi.
·
Perubahan
budaya kerja dari “menjalankan perintah” menjadi “mencapai hasil”.
·
Kemitraan
strategis dengan vendor, bukan sekadar hubungan transaksi.
Langkah-langkah
tersebut perlu ditingkatkan oleh kedua belah pihak, selaku client dan vendor,
karena memerlukan persamaan persepsi untuk bisa menjalankan model Outcome-Based
Contracting (OBC) ini.
Dengan contoh indikator kinerja utama (KPI) yang disepakati, maka timbul komitment yang perlu dipelajari dan ditindaklanjuti bersama, contoh:
|
KPI |
Client |
Vendor |
|
Tingkat
kepuasan pengguna fasilitas (occupant satisfaction score). |
Komitmen
untuk mengisi survey secara aktif serta memberikan masukan untuk perbaikan. |
Aktif
untuk bertanya dan melakukan rapat koordinasi dengan client. |
|
Ketersediaan
aset penting (uptime). |
Komitmen
untuk mencatat dan memberikan data asset. |
Memiliki
system pencatatan serta rapih dokumentasi. |
|
Pengurangan
konsumsi energi atau biaya operasional. |
Komitmen
untuk semua karyawan mengikuti program yang disetujui dan pendanaan untuk
mengganti peralatan yang sudah rusak. |
Aktif
memberikan usulan penghematan energi. |
|
Kepatuhan
terhadap standar keselamatan dan keberlanjutan. |
Komitmen
untuk semua karyawan mengikuti program keselamatan yang dibuat. |
Meningkatkan
kompetensi untuk mengetahui standar keselamatan dan aktif berkomunikasi
kepada client. |
Menatap Masa Depan FM yang Berorientasi Hasil
Era kontrak outcome-based membuka peluang besar bagi industri FM Indonesia untuk naik kelas. Dengan mengubah fokus dari berapa banyak orang yang bekerja menjadi seberapa besar hasil yang dicapai, organisasi dapat meningkatkan efisiensi, kepuasan pengguna, dan keberlanjutan jangka panjang.
Perusahaan
dan profesional FM yang mampu beradaptasi dengan model ini, menguasai data,
inovasi, dan kolaborasi akan menjadi pemain utama dalam ekosistem FM modern
yang lebih strategis dan bernilai tinggi.
Semoga bermanfaat